Selasa, 20 Desember 2011

MAKALAH HUBUNGAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PERSENJATAAN DAN RUANG ANGKASA DENGAN KONDISI KEAMANAN DUNIA PADA MASA PERANG DINGIN


Persaingan yang paling mencolok dalam masa Perang Dingin adalah dalam bidang militer, khususnya dalam hal persenjataan. Kedua negara adidaya itu saling berlomba menciptakan berbagai senjata yang mutakhir dan mematikan, misalnya bom. Bom adalah senjata ledak yang lazim digunakan dalam perang. Terorisme juga melibatkan penggunaan bom. Bom umumnya terdiri atas wadah logam yang diisi dengan bahan peledak atau bahan kimia. Bom melukai dan menewaskan orang serta merusakkan gedung dan bangunan lain, kapal, pesawat terbang, ataupun sasaran lain. Salah satu senjata yang paling menakutkan dan dapat membantu mengakhiri Perang Dunia II adalah bom atom. Senjata yang disebut bom atom itu dibuat pertama kali oleh Amerika Serikat pada tanggal 16 Juli 1945 di Alamo Gardo, New Mexico. Bom atom itu kemudian dipakai untuk menghancurkan kota Hiroshima pada tanggal 8 Agustus 1945 dan kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Akibat pemboman itu Jepang menyerah dan berakhirlah Perang Dunia II. Bom dalam bentuk apa pun apabila meledak akan menimbulkan kerugian pada manusia dan alam sekitarnya. Tenaga atom yang ditimbulkan akan menimbulkan radiasi yang apabila diterima dalam jumlah besar akan sangat fatal akibatnya. Debu radioaktif dan endapan dari awan yang tertiup angin dan bertebaran di daratan dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman serta membinasakan hewan dan manusia. Pada jangka panjang ledakan bom atom akan mengakibatkan kematian serta kanker pada manusia, sedangkan kerusakan genetis akan terlihat pada generasi-generasi berikutnya.
Keberhasilan Amerika Serikat dalam menciptakan bom atom, ternyata dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat diikuti oleh pesaingnya Uni Soviet. Pada tahun 1949 Uni Soviet berhasil melakukan uji coba peledakan bom atomnya. Tentu saja keberhasilan Uni Soviet itu menimbulkan kecemasan Amerika Serikat sehingga negara tersebut berusaha mencari dan menciptakan bom tandingannya. Oleh karena itu, Amerika Serikat segera melakukan penelitian tentang bom hidrogen.
Negara-negara sekutu Amerika Serikat dan satelit Uni Soviet tidak lepas dari pengerahan teknologi persenjataan itu. Negara-negara mereka dibangun basis militer dan pangkalan peluncuran rudal hanya untuk ambisi dua adidaya dunia. Namun, apabila perang terbuka itu benar-benar terjadi karena terkena akibatnya. Bahkan, dapat menjadi sasaran langsung penghancuran padahal mereka tidak tahu-menahu permasalahan. Oleh karena itu, kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan merupakan kerja sama yang paling mencolok dalam suasana Perang Dingin.
Upaya meredakan Perang Dingin dengan mengurangi, membatasi, dan memusnahkan persenjataan nuklir dilakukan pada kurun waktu 1968–1982. Bentuk persetujuan yang dicapai, antara lain sebagai berikut.

a. Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nonproliferation Treaty)

Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dilaksanakan pada tahun 1968 yang diikuti oleh negara Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. Pertemuan itu menyepakati bahwa mereka tidak akan menjual senjata nuklir atau memberikan informasi kepada negara-negara nonnuklir
.

b. Perjanjian Pembatasan Persenjataan Strategis (Strategic Arms Limitation Talks/SALT I)

Perjanjian SALT I ditandatangani oleh Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat dan Leonid Breshnev, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet pada tanggal 26 Mei 1972. Pertemuan kedua pemimpin negara adidaya itu menyepakati untuk:
1) pembatasan terhadap sistem pertahanan antipeluru kendali (Anti-Balistic Missile=ABM)

2) pembatasan senjata-senjata ofensif strategis, seperti Inter-Continental Ballistic Missile (ICBM = Peluru Kendali Balistik Antarbenua) dan Sea-Launched Ballistic Missile (SLBM = Peluru Kendali Balistik yang diluncurkan dari laut/ kapal).


c. Perjanjian Pengurangan Persenjataan Strategis (Strategic Arms Reduction Treaty/START)

Perjanjian pengurangan persenjataan strategis dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada tahun 1982. Perjanjian itu menyepakati bahwa kedua negara adidaya akan memusnahkan persenjataan nuklir yang dapat mencapai sasaran jarak menengah.
Upaya menghindari bahaya perang nuklir juga diadakan oleh negara-negara lain yang tidak memiliki persenjataan nuklir. Negara-negara itu khawatir kawasan atau wilayahnya akan menjadi sasaran ataupun salah sasaran akibat perang nuklir itu.


Teknologi penerbangan antariksa terjadi ketika era Perang Dingin dan persaingan antara Amerika Serikat dengan Rusia yang saat itu masih bernama Uni Soviet. Teknologi roket yang merupakan dasar dari sistem penerbanan antariksa pada mulanya dikembangkan untuk keperluan persenjataan. Bicara soal teknologi roket, kita tidak bisa lepas dari nama Wehrner Von Braun, ilmuwan Jerman yang direkrut Hitler untuk mengembangkan misil V2, sebuah peluru kendali dengan teknologi roket dalam masa Perang dunia II. Saat perang usai, Von Braun hijrah ke AS dan membantu pengembangan teknologi roket untuk kepentingan penerbangan antariksa di sana. Namun demikian, entah mengapa, cetak biru V2 kemudian jatuh ke tangan Rusia, dan digunakan oleh pihak rusia sebagai acuan untuk mengembangkan roketnya sendiri. Kedua negara adidaya itu kemudian terlibat dalam persaingan sengit untuk mengeksplorasi ruang angkasa.
Rusia unggul lebih dahulu dengan keberhasilannya meluncurkan satelit buatan yang pertama di dunia dengan nama Sputnik I pada 4 Oktober 1957. AS kemudian menyusul dengan meluncurkan satelit pertamanya yang dinamai Explorer I pada 31 Januari 1958. Pada 12 April 1961, Rusia kembali memimpin dengan meluncurkan manusia pertama ke angkasa luar, Yuri Alekseyivich Gagarin, seorang mayor Agkatan Udara Rusia yang meluncur dengan kapsul Vostok I. Kurang dari sebulan kemudian, AS meluncurkan astronaut pertamanya, Alan B Shepard dengan kapsul Mercury 7. Peluncuran ini dilakukan secara terburu-buru dengan teknologi yang belum sempurna sehingga Alan B.Shepard hanya mampu mengangkasa selama 15 menit dengan ketinggian maksimal 184 km, tertinggal dengan Yuri Alekseyivich Gagarin dari Uni Soviet yang mencatat waktu 108 menit dan ketinggian maksimal 301,4 km dalam sekali orbit.
Misi Amerika Serikat sendiri sebenarnya hanyalah penerbangan naik-turun dan tidak sampai mengorbit bumi. AS baru berhasil mengirimkan pesawat pengorbit pada 20 Februari 1962, ketika kapsul Friendship 7 yang diawaki oleh Letkol. John Herschel Glenn berhasil melakukan 3 kali orbit dalam penerbangan selama 4 jam 56 menit. Tetapi prestasi ini masih kalah jauh dengan
kemajuan yang dicapai Rusia pada 6 bulan sebelumnya, ketika Mayor German Stephanovich Titov berhasil mengorbit sebanyak 17 kali dalam penerbangan selama 25 jam 18 menit dalam kapsul Vostok II.
Bulan menjadi sasaran berikutnya dari kedua negara yang tengah bersaing itu. Rusia mendahului dengan mengirim wahana tak berawak Lunik II pada 14 September 1959. Wahana ini tercatat sebagai wahana buatan manusia pertama yang mendarat di permukaan bulan. Sayangnya, Lunik II mendarat secara keras (hard landing), dengan akibat seluruh peralatan yang dibawanya rusak sehingga tidak mampu mengirimkan data apapun ke bumi. Rusia baru berhasil mendaratkan wahana yang mampu melakukan pendaratan lunak (soft landing) pada Februari 1966 melalui wahana Lunik IX.
Sedangkan AS baru berhasil mengirimkan wahana untuk melakukan pendaratan lunak pada 1966. Setahun kemudian, sebuah wahana AS lainnya berhasil mengirimkan gambar TV pertama dari permukaan bulan. Puncaknya terjadi pada 17 Juli 1969, ketika Neil Amstrong dan Edwin Aldrin berhasil mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai manusia pertama yang menginjak
permukaan bulan melalui misi Apollo-11. Misi ini dilanjutkan dengan 5 pendaratan lainnya, masing-masing Apollo-12 (November 1969), Apollo-14 (Februari 1971), Apollo-15 (Agustus 1971), Apollo-16 (April 1972), dan terakhir, Apollo-17 (Desember 1972). Misi Apollo juga pernah mencatat kegagalan, tepatnya menimpa misi Apollo-13 yang mengalami kecelakaan (ledakan pada salah satu modulnya). Melalui tindakan pertolongan yang legendaris, para awaknya dapat kembali dengan selamat ke bumi walaupun gagal menjejak ke permukaan bulan.
Sementara itu, Rusia tercatat pernah mengirimkan modul Lunkhod I pada 17 November 1970. Modul ini berupa robot yang dikendalikan dari bumi. Namun demikian, sesudahnya program antariksa Rusia di bulan tidak lagi berlanjut. Begitu pula dengan AS. Setelah berakhirnya misi Apollo-17, AS tidak lagi mengirimkan manusia ke bulan.
Persaingan antara Amerika dengan Uni Soviet terus berlanjut dalam bidang penguasaan ruang angkasa. Kalau sebelum era pesawat ulang-alik, seluruh komponen antariksa bersifat sekali pakai. Maka akibatnya, pengiriman misi berawak membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain cara ini juga sangat berisiko karena apabila terjadi kecelakaan dalam misi berawak di ruang angkasa, mustahil untuk melakukan pertolongan. Musibah yang menimpa misi Apollo 13 memberikan pelajaran bahwa misi berawak ke antariksa tidak lain adalah sebuah petualangan yang penuh risiko. Atas pertimbangan itu, maka tahun 1970-an, NASA mulai mengembangkan pesawat ulang-alik. Misi ulang-alik dinilai lebih ringan biayanya karena hampir seluruh komponennya dapat digunakan kembali pada misi-misi sesudahnya. AS kembali mencatat sejarah dengan keberhasilannya meluncurkan pesawat ulang-alik pertamanya, Columbia, pada bulan Juni 1981. Dengan digunakannya teknologi ulang-alik, terbuka kesempatan untuk meluncurkan misi berawak dengan frekuensi yang lebih sering dengan pembiayaan yang lebih kecil.
Pesawat ulang-alik Challenger yang meledak saat peluncuran 28 Februari 1986 dan menewaskan ketujuh awaknya memang sempat membuat NASA merestrukturisasi kembali program ulang-aliknya, khususnya dalam persoalan keamanan. Namun demikian, teknologi ulang-alik sendiri tidak banyak berubah, bahkan selama lebih dari 20 tahun sejak pertama kali digunakan.
Puncaknya terjadi pada peristiwa kecelakaan yang menimpa Columbia, 1 Februari 2003, ketika pesawat tersebut meledak di udara sesaat setelah memasuki atmosfir bumi dalam proses pendaratan. Peristiwa yang menewaskan tujuh awak tersebut kembali membuka perdebatan mengenai keamanan serta kepentingan misi ulang-alik. Akibat dari kecelakaan ini adalah dibekukannya program luar angkasa AS sambil mengkaji kembali berbagai faktor dalam penerbangan ulang-alik, termasuk kemungkinan digunakannya teknologi yang sama sekali baru, dengan efisiensi dan tingkat keamanan yang lebih tinggi. Ada beberapa alternatif pengganti pesawat ulang-alik yang saat ini sedang dikembangkan, walaupun masih belum jelas teknologi mana yang kelak akan dipilih untuk menggantikan model peluncuran pesawat ulang-alik. Sepeninggal Challenger dan Columbia, AS masih memiliki tiga pesawat ulang-alik lain, yaitu Discovery, Atlantis, dan Endeavour, ditambah dengan satu prototipe yang tidak pernah mengudara, Enterprise, yang kini menghuni museum Smithsonian.
Sementara itu Uni Soviet juga tidak mau ketinggalan dengan Amerika Serikat. untuk mengejar ketertinggalannya dari AS, Rusia tercatat juga sempat mengembangkan pesawat ulang-aliknya sendiri yang diberi nama Buran, dari bahasa setempat yang berarti Badai Salju. Tahun 1988, Buran sempat diujicoba dalam sebuah penerbangan tanpa awak. Sayangnya, krisis politik maupun ekonomi yang melanda Uni Soviet sesaat sebelum bubar membuat proyek Buran tersendat, dan bahkan terhenti sama sekali sebelum sempat berkembang. ecahnya Uni Soviet akhirnya juga membawa malapetaka bagi program antariksa Rusia. Pangkalan peluncuran Rusia yang berada di Tyuratam (dikenal sebagai kosmodrom Baikonur) kini telah masuk wilayah Kazakhstan, sebuah negara kecil yang secara ekonomi tidak begitu makmur. Tentu saja pemerintah Kazakhstan tidak ingin membiarkan begitu saja sebagian teritorinya dipakai secara gratis oleh negara Rusia untuk kepentingannya sendiri. Pendeknya, pemerintah Kazakhstan menuntut pihak Rusia untuk membayar ongkos sewa agar dapat terus menggunakan pangkalan tersebut. Rusia terus melanjutkan program antariksa mereka dengan memanfaatkan stasiun luar angkasa Mir. Tetapi karena kurangnya biaya ditambah lagi dengan kondisi Mir yang memang sudah terlalu tua akhirnya membuat pemerintah Rusia terpaksa memutuskan untuk mengakhiri riwayat stasiun kebanggaan mereka itu pada bulan april 2001.
Ruang angkasa memang terlalu luas untuk dieksplorasi oleh satu atau dua negara tertentu saja. Dewasa ini, pemanfaatan luar angkasa dilakukan atas dasar kerja sama, bukan lagi persaingan seperti pada awalnya. Kini, AS dan Rusia, bersama-sama dengan negara-negara maju lainnya bahu-membahu mengembangkan Stasiun Luar Angkasa Internasional (International Space Station) yang diharapkan kelak menjadi pusat kegiatan eksplorasi antariksa secara lintas negara. Sementara itu, teknologi roket juga tidak lagi merupakan monopoli AS atau Rusia. Tercatat negara-negara seperti Jepang, India, Cina, dan Uni Eropa, juga telah berhasil mengembangkan teknologi roketnya sendiri. Rencana Cina untuk meluncurkan misi berawak ke antariksa kiranya akan menorehkan sejarah baru dalam dunia penerbangan antariksa

b. Perkembangan di Cina
Dalam Perkembangan berikutnya Cina berhasil untuk mengirimkan manusia ke orbit. Roket Long March 2F yang membawa kapsul Shenzhou V akhirnya meluncur dari landasan pusat antariksa Cina di Jiauquan, Provinsi Gansu, mencatatkan Yang Liwei sebagai taikonaut (sebutan Cina untuk astronaut) pertama. Ia kembali ke bumi dengan selamat pada keesokan harinya setelah menjalani 16 kali orbit dalam misi yang memakan waktu 21 jam itu. Kapsul Shenzhou merupakan modifikasi dari kapsul Soyuz yang dikembangkan oleh Rusia. Sebagaimana halnya Soyuz, Shenzhou terdiri atas modul komando (command module) yang ditautkan dengan sebuah modul jasa (service module). Modul jasa yang memuat mesin roket dan peralatan penunjang pada Shenzhou hampir identik dengan modul serupa pada Soyuz. Perbedaan yang agak mencolok bisa dilihat pada modul komando, yang merupakan tempat para awak melakukan tugasnya. Modul komando pada Soyuz didesain berbentuk bola, sementara di Shenzhou berbentuk seperti lonceng. Di ujung modul komando Shenzhou ditautkan sebuah perangkat ilmiah yang akan dilepas di orbit. Perangkat ini masih akan mengorbit hingga enam bulan setelah
peluncuran. Tidak jelas apa fungsi peralatan ini. Kemungkinan adalah satelit yang memang ditumpangkan pada misi tersebut.
Roket Long March 2F sebagai kendaraan peluncur adalah hasil pengembangan para ilmuwan Cina sendiri. Ini adalah sebuah roket konvensional bertingkat tiga, dengan empat roket tambahan pada tingkat pertama yang berfungsi sebagai booster. Di pihak lain, Soyuz diluncurkan dengan bantuan roket energinya. Roket ini tidak memakai booster, namun tingkat pertamanya terdiri atas empat roket yang bekerja secara simultan dengan daya yang sama. Sistem ini menghasilkan gaya dorong yang cukup powefull sehingga hanya diperlukan dua tingkat pada roket untuk meluncurkan muatan ke orbit. Teknologi roket yang dimiliki Rusia ini memang masih belum bisa ditiru oleh negara lain. Oleh karena itulah Rusia juga sering mendapat kepercayaan untuk meluncurkan muatan berat ke orbit, termasuk modul-modul inti dari Stasiun Ruang Angkasa Internasional (International Space Station, ISS). Indonesia sendiri pernah memanfaatkan jasa roket Rusia untuk meluncurkan satelit Garuda-1 yang memang tergolong satelit berukuran besar. Cina sudah merancang untuk mengirimkan misi-misi lanjutan, di antaranya rencana untuk menempatkan stasiun ruang angkasanya sendiri, bahkan mengirim misi berawak ke bulan. Tapi keberhasilan Cina meluncurkan misi berawak sepertinya berhasil menyadarkan bangsa-bangsa Asia bahwa mereka tidak lagi bisa dipandang remeh.


c. Perkembangan di Indonesia

Indonesia belum pernah terlibat secara langsung dalam eksplorasi ruang angkasa, tetapi Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup disegani karena pengalamannya dalam mengeksploitasi teknologi keantariksaan. Saat penggunaan satelit bagi sebagian besar negara masih sangat jarang, Indonesia telah meluncurkan satelitnya yang pertama, Palapa A1 pada 9 Juli 1976. Ini mencatatkan Indonesia sebagai negara ketiga di dunia setelah AS dan Canada yang menggunakan satelit komunikasi domestiknya sendiri. Indonesia juga sudah memanfaatkan jasanya untuk meluncurkan satelit Palapa generasi kedua, Palapa B1, pada 19 Juni 1983. Operasi penyelamatan satelit Palapa B2, menyusul kegagalan pada peluncurannya yang juga dilakukan oleh misi ulang-alik merupakan operasi bersejarah yang kerumitannya boleh ditandingkan dengan operasi perbaikan teleskop antariksa Hubble pada dasawarsa 90-an. Pada pertengahan era 1980-an, Indonesia bahkan sempat menyiapkan astronautnya untuk mengikuti misi ulang-alik tetapi karena terjadi bencana Challenger misi ini dibatalkan.
Dalam teknologi peroketan, Indonesia tercatat sebagai negara kedua di Asia, setelah Jepang, yang berhasil meluncurkan roketnya sendiri. Prestasi ini dihasilkan melalui keberhasilan LAPAN meluncurkan roket Kartika 1 pada 14 Agustus 1964. Keberhasilan ini juga tidak lepas dari bantuan teknis dari Rusia. Akan tetapi Indonesia gagal melakukan alih-teknologi. Akibatnya, selama lebih dari seperempat abad sejak meluncurkan satelit pertamanya, Indonesia hanya bisa bertindak sebagai konsumen. Sementara itu, negara-negara lain justru mulai menyiapkan diri untuk mulai belajar mengembangkan teknologi satelit melalui pembuatan satelit mikro (mikrosat). Malaysia misalnya, yang semula tertinggal puluhan tahun dari Indonesia dalam pemanfaatan teknologi satelit, sejak tahun 2000 telah berhasil meluncurkan satelit mikronya yang pertama, Tiungsat-1, yang merupakan hasil kerja sama dengan Universitas Surrey, Inggris. Sementara itu, Indonesia baru mulai berancang-ancang membuat satelit mikronya pada tahun 2003 ini melalui kerja sama dengan Universitas Berlin, Jerman. Program yang dilaksanakan dalam dua tahap selama lima tahun hingga 2007 itu, sekarang masih memasuki tahap pertama yang direncanakan selama tahun 2003-2004. Dalam bidang teknologi roket pun juga kurang berhasil. Akibatnya, pengem- bangan teknologi roket di Indonesia terhenti, sementara negara-negara Asialain, seperti India dan Cina, yang lebih belakangan menekuni teknologi ini akhirnya melampaui Indonesia dengan keberhasilannya meluncurkan roket pengangkut satelit ke antariksa.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang jarang dimiliki negara lain untuk mengembangkan teknologi antariksanya sendiri. Potensi itu berupa garis katulistiwa yang membentang di atasnya. Sekitar 13% dari garis katulistiwa berada di atas wilayah Indonesia. Dengan demikian, Indonesia tercatat sebagai negara pemilik garis katulistiwa yang terpanjang di dunia. Hal ini menjadikan wilayah Indonesia sebagai tempat yang sangat ideal untuk menjadi lokasi peluncuran roket pengangkut satelit. Peluncuran roket dari dekat garis katulistiwa akan lebih menghemat bahan bakar roket, dan karenanya lebih murah dari segi biaya. Potensi inilah yang juga diminati oleh pihak asing. Rusia misalnya, sudah lama mengincar Pulau Biak di Irian Jaya (Papua) untuk menjadi lokasi bandar antariksanya. Tapi karena kita kurang cepat menanggapi tawaran itu, Akibatnya, Rusia akhirnya memilih Pulau Christmast di Australia sebagai lokasi bandar antariksanya.
Selain Rusia, sebuah perusahaan swasta AS juga pernah amat tertarik dan bersedia menanam investasi untuk menjadikan Biak sebagai lokasi peluncuran roket. Rencananya, roket yang akan dioperasikan dari jenis berbahan bakar padat, diangkut melalui laut dari pantai timur AS ke dermaga bandar antariksa Biak. Alternatif lain, bagian-bagian roket diterbangkan dan mendarat di bandar udara Frans Kasiepo Biak, kemudian diangkut melalui darat ke tempat peluncuran.
Rencana inipun gagal dengan sebab-sebab yang tidak jelas. Satu-satunya pihak asing yang telah memanfaatkan potensi Biak adalah Badan Ruang Angkasa India (Indian Space Research Organization, ISRO) yang telah bekerja sama dengan LAPAN untuk membangun stasiun TT&C (Tracking, Telemetry, and Command) di sana. Stasiun ini menjadi penting karena saat India meluncurkan roket pengangkut satelitnya, proses pelepasan muatan roket dilakukan di atas angkasa Irian, dan satu-satunya stasiun bumi yang bisa memonitor dan mengendalikan proses ini hanyalah stasiun di Biak.
Pengembangan teknologi keantariksaan memang bukan prioritas di Indonesia. Tapi paling tidak, kita masih memiliki harapan untuk menuju ke arah sana. Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang-orang pintar. Tetapi yang kurang sebenarnya adalah kemauan politis (political will) dari pemerintah. Hal ini tentu tidak boleh menyurutkan semangat kita untuk terus belajar dan mengejar ketertinggalan dalam bidang teknologi dari negara-negara yang lebih maju.


Minggu, 20 November 2011

"LAPORAN TEKSTUR TANAH"


"LAPORAN TEKSTUR TANAH"
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah dapat ditemukan hampir dimana saja dan kiranya tanah itu selalu bersama kita.Karena itu kebanyakan orang tidak pernah berusaha menentukan apakah tanah itu,darimana asalnya dan bagaimana sifatnya.Mereka tidak memperhatikan bagaimana tanah itu di suatu tempat berbeda dengan tanah di tempat lain. Tanah juga merupakan komponen hidup dari lingkungan yang penting.Bila tanah disalahgunakan, tanaman menjadi kurang produktif.  Bila ditangani secara hati-hati dengan memperhatikan tabiat fisik dan biologinya, akan terus menerus menghasilkan tanaman dalam beberapa generasi yang tidak terhitung (Lal, 1979).
       Tanah terdiri dari butir-butir yang berbeda dalam ukuran dan bentuk, sehingga diperlukan istilah-istilah khusus yang memberikan ide tentang sifat teksturnya dan akan memberikan petunjuk tentang sifat fisiknya. Untuk ini digunakan nama kelas seperti pasir, debu, liat dan lempung. Nama kelas dan klasifikasinya ini, merupakan hasil riset bertahun-tahun dan lambat laun digunakan sebagai patokan. Tiga golongan pokok tanah yang kini umum dikenal adalah pasir, liat dan lempung(Buckmandan  Brady, 1992)
        Tanah terdiri dari butiran-butiran yang berbedabaik dalam ukuran maupun bentuk.Besarnya partikel tanah relatif sangat kecil, yang biasanya diistilahkan dengan tekstur. Tekstur menunujukkan sifat halus dan kasarnya butiran-butiran tanah.Lebih khusus lagi, tekstur ditentukan oleh perbandingan antara kandungan pasir, debu, dan liat yang terdapat dalam tanah. Dalam pengukuran tekstur tanah, kerikil dan partikel yang lebih besar tidak diperhitungkan karena materi ini tidak mengambil peranan penting dalam penentuan tekstur tanah.
        Kasar dan halusnya tanah dalam klasifikasi tanah (taksnomi tanah) ditunjukkan dalam sebaran butir yang merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah dengan memperhatikan pula fraksi tanah yang lebih kasar dari pasir (lebih besar 2 mm), sebagian besar butir untuk fraksi kurang dari 2 mm meliputi berpasir lempung, berpasir, berlempung halus, berdebu kasar, berdebu halus, berliat halus, dan berliat sangat halus (Hardjowigeno, 1995).
       Penentuan kelas tekstur suatu tanah secara teliti harus dilakukan analisa tekstur di laboratorium yang disebut analisa mekanik tanah. Dalam menetapkan tekstur tanah ada tiga metode yang digunakan yaitu metode lapang, hydrometer, dan pipet.  Metode yang digunakan dalam praktek ini adalah metode hydrometer.
       Sifat-sifat fisik tanah banyak bersangkutan dengan kesesuaian tanah untuk berbagai penggunaan. Kekuatan dan daya dukung, kemampuan tanah menyimpan air, drainase, penetrasi, akar tanaman, tata udara, dan pengikatan unsur hara, semuanya sangat erat kaitannya dengan sifat fisik tanah.
       Sifat fisik tanah ditentukan oleh permukaan butiran tanah, sifat-sifat kimia dari butiran dan kandungan bahan organik.  Butiran-butiran yang menyusun tanah mempunyai ukuran yang berbeda-beda.  Perbedaan ukuran dan jumlah butiran tersebut sangat mempengaruhi tekstur tanah.
       Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diadakan percobaan tentang tekstur tanah.

1.2    Tujuan dan kegunaan
Tujuan praktikum tekstur tanah adalah untuk mengetahui dan menentukan kelas tekstur pada tanah Alfisol dantanahInceptisollapisan I dan II dan III
      Kegunaan praktikum tekstur tanah adalah sebagai bahan informasi dalam menentukan tanaman budidaya pada daerah itu atau tanaman apa yang cocok pada jenis tekstur tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tekstur tanah
Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah (separat) yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir, fraksi debu dan fraksi liat (Hanafiah, 2008).
       Tekstur merupakan sifat kasar-halusnya tanah dalam percobaan yang ditentukan oleh perbandingan banyaknya zarah-zarah tunggal tanah dari berbagai kelompok ukuran, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi lempung, debu, dan pasir berukuran 2 mm ke bawah (Notohadiprawito, 1978).
       Tanah terdiri dari butir-butir yang berbeda dalam ukuran dan bentuk, sehingga diperlukan istilah-istilah khusus yang memberikan ide tentang sifat teksturnya dan akan memberikan petunjuk tentang sifat fisiknya. Untuk ini digunakan nama kelas seperti pasir, debu, liat dan lempung. Nama kelas dan klasifikasinya ini, merupakan hasil riset bertahun-tahun dan lambat laun digunakan sebagai patokan. Tiga golongan pokok tanah yang kini umum dikenal adalah pasir, liat dan lempung(Buckmandan  Brady, 1992)
Pembagian kelas tektur yang banyak dikenal adalah pembagian 12 kelas tekstur menurut USDA.Nama kelas tekstur melukiskan penyebaran butiran, plastisitas, keteguhan, permeabilitas kemudian pengolahan tanah, kekeringan, penyediaan hara tanah dan produktivitas berkaitan dengan kelas tekstur dalam suatu wilayah geogtrafis (A.K. Pairunan, dkk, 1985).
       Tekstur tanah dapat menentukan ssifat-sifat fisik dan kimia serta mineral tanah. Partikel-partikel tanah dapat dibagi atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan ukuran partikel tanpa melihat komposisi kimia, warna, berat, dan sifat lainnya.  Analisis laboratorium yang mengisahkan hara tanah disebut analisa mekanis.  Sebelum analisa mekanis dilaksanakan, contoh tanah yang kering udara dihancurkan lebih dulu disaring dan dihancurkan dengan ayakan 2 mm.  Sementara itu sisa tanah yang berada di atas ayakan dibuang.  Metode ini merupakan metode hidrometer yang membutuhkan ketelitian dalam pelaksanaannya.  Tekstur tanah dapat ditetapkan secara kualitatif dilapangan (Hakim, 1986).
       Tekstur tanah dibagi menjadi 12 kelas seperti yang tertera pada diagram segitiga tekstur tanah USDA yang meliputi pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung berdebu, debu, liat berpasir, liat berdebu, dan liat (Lal, 1979).
       Tanah terdiri dari butir-butir pasir, debu, dan liat sehingga tanah dikelompokkan kedalam beberapa macam kelas tekstur, diantaranya kasar, agak kasar, sedang, agak halus,dan hancur (Hardjowigeno, 1995).
Kasar dan halusnya tanah dalam klasifikasi tanah (taksnomi tanah) ditunjukkan dalam sebaran butir yang merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah dengan memperhatikan pula fraksi tanah yang lebih kasar dari pasir (lebih besar 2 mm), sebagian besar butir untuk fraksi kurang dari 2 mm meliputi berpasir lempung, berpasir, berlempung halus, berdebu kasar, berdebu halus, berliat halus, dan berliat sangat halus (Hardjowigeno, 1995).

2.2 Karakteristik tekstur tanah

Sifat-sifat fisik tanah banyak bersangkutan dengan kesesuaian tanah untuk berbagai penggunaan. Kekuatan dan daya dukung, kemampuan tanah menyimpan air, drainase, penetrasi, akar tanaman, tata udara, dan pengikatan unsur hara, semuanya sangat erat kaitannya dengan sifat fisik tanah (Lal, 1979).
       Karakteristik tekstur tanah terdiri atas fraksi pasir, fraksi debu dan fraksi liat. Suatu tanah disebut bertekstur pasir apabila mengandung minimal 85% pasir, bertekstur debu apabila berkadar minimal 80% debu dan bertekstur liat apabila berkadar minimal 40% liat (Hanafiah, 2008).
       Berdasarkan kelas teksturnya maka tanah dapat digolongkan menjadi tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir berarti tanah yang mengandung minimal 70% pasir atau pasir berlempung (Nyakpa, 1989). 
        Tanah bertekstur halus atau tanah berliat berarti tanah yang mengandung minimal 37,5% liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir (Nyakpa, 1989).
        Tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung terdiri dari tanah bertekstur sedang tetapi agak kasar meliputi tanah yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berpasir halus. Tanah bertekstur sedang meliputi yang bertekstur lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu atau debu. Tanah bertekstur sedang tetapi agak halus mencakup lempung liat, lempung liat berpasir atau lempung liat berdebu (Hakim, 1986).
         Dalam penetapan tekstur tanah ada tiga jenis metode yang biasa digunakan yaitu metode feeling yang dilakukan berdasarkan kepekaan indra perasa (kulit jari jempol dan telunjuk), metode pipet atau biasa disebut dengan metode kurang teliti dan metode hydrometer atau disebut dengan metode lebih teliti yang didasarkan pada perbedaan kecepatan jatuhnya partikel-partikel tanah di dalam air dengan asumsi bahwa kecepatan jatuhnya partikel yang berkerapatan sama dalam suatu larutan akan meningkat secara linear apabila radius partikel bertambah secara kuadratik (Hardjowigeno, 1995).
         Tanah bertekstur kasar, tanpa rasa licin dan tanpa rasa lengket sera tidak bisa membentuk gulungan atau lempengan continue sebaliknya jika partikel tanah terasa halus lengket dan dapat dibuat gulungan maka berarti tanah bertekstur liat. Tanah bertekstur debu akan mempunyai partikel-partikel yang terasa agak halus dan licin tetapi tidak lengket serta gulungan yang terbentuk rapuh dan mudah hancur. Tanah bertekstur lempung akan mempunyai partikel-partikel yang mempunyai jenis ketiganya secara proporsional, apabila yang terasa lebih dominan adalah sifat pasir maka berarti tanah bertekstur lempung berpasir dan seterusnya (Buckmandan  Brady, 1992).



2.3 Hubungan tekstur dengan pertumbuhan tanah

Pemahaman tanaman sebagai media tumbuh tanaman pertama kali dikemukakan oleh Dr.H.L.Jones dari Cornell University Inggris (Darmawijaya,1990), yang mengkaji hubungan tanah pada tanaman tingkat tinggi untuk mendapatkan produksi pertanian yang seekonomis mungkin. Kajian tanah dari aspek ini disebut edaphologi (edaphos=bahan tanah subur), namun pada realitasnya kedua defenisi selalu terintegrasi.
          Tanah pada masa kini sebagai media tumbuh tanaman didefenisikan sebagai lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan air dan udara, secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi dan unsur-unsur esensial sedangkan secara biologis berfungsi sebagai habitat biota yang berpatisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat adiktif bagi tanaman (Hanafiah, 2008).
          Tanah yang didominasi pasir akan banyak mempunyai pori-pori makro, tanah yang didominasi debu akan mempunyai pori-pori meso (sedang), sedangkan didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro. Hal ini berbanding terbalik dengan luas permukaan yang terbentuk, luas permukaan mencerminkan luas situs yang dapat bersentuhan dengan air, energi atau bahan lain, sehingga makin dominan fraksi pasir akan makin kecil daya tahannya untuk menahan tanah (Hakim, 1986).
          Makin poreus tanah akan makin mudah akar untuk berpenetrasi, serta makin mudah air dan udara untuk bersirkulasi tetapi makin mudah pula air untuk hilang dari tanah dan sebaliknya, makin tidak poreus tanah akan makin sulit akar untuk berpenetrasi serta makin sulit air dan udara untuk bersirkulasi. Oleh karena itu, maka tanah yang baik dicerminkan oleh komposisi ideal dari kedua kondisi ini, sehingga tanah bertekstur debu dan lempung akan mempunyai ketersediaan yang optimum bagi tanaman, namun dari segi nutrisi tanah lempung lebih baik ketimbang tanah bertekstur debu (Nyakpa, 1989).
           Fraksi pasir umumnya didominasi oleh mineral kuarsa yang sangat tahan terhadap pelapukan, sedangkan fraksi debu biasanya berasal dari mineral feldspar dan mika yang cepat lapuk, pada saat pelapukannya akan membebaskan sejumlah hara, sehingga tanah bertekstur debu umumnya lebih subur ketimbang tanah bertekstur pasir (Hardjowigeno, 1993).
          Pada tanah-tanah di daerah tropika nisbah debu liat merupakan kriteria penting dalam mengevaluasi fenomena seperti migrasi liat, taraf pelapukan fisik, dan umur bahan induk tanah serta klasifikasi tanah (Lal, 1979).

III. METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum analisis tekstur  tanah dilaksanakan di Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.  Pada hari Kamis20Oktober 2011. Pukul 15.30 WITA sampai selesai.

3.2 Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan adalah hidrometer, cawan petris, selinder sedimentasi, 1000 ml saringan, termometer, timbangan, botol selei.
Bahan yang digunakan pada praktikum analisis tekstur tanah ini adalah sampel tanah, air, larutan calgon dan aquades.

3.3  Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum analisis tekstur tanah adalah sebagai berikut :
1.      Menimbang 20 gram tanah kering udara, butir-butir tanah ini berukuran kurang dari 2mm.
2.      Memasukkan tanah ke dalam erlenmeyer atau botol tekstur dan ditambahkan 10 mL larutan Calgon 0,05 % dan aquadest secukupnya.
3.      Mengocok tanah dengan mesin pengocok selama kurang lebih 10 menit.
4.      Menuangkan secara kualitatif semua isinya ke dalam silinder sedimentasi 1000 mL yang di atasnya dipasang saringan dengan diameter lubang 0,05 mm dan dibersihkan botol tekstur dengan bantuan botol semprot.
5.      Semprot dengan spayer sambil diaduk-aduk semua suspensi yang masih tinggal pada saringan sehingga semua partikel debu dan liat telah turun (air saringan telah jernih).
6.      Pasir yang tertinggal dipindahkan ke dalam cawan dengan pertolongan botol semprot kemudian masukkan ke dalam oven bersuhu 105°C selama 2 x 24 jam, selanjutnya masukkan dalam desikator dan timbang hingga berat pasir diketahui (catat sebagai C gram)
7.      Mencukupkan larutan suspensi dalam tabung sedimentasi dengan aquadest hingga 1000 mL.
8.      angkat silinder sedimentasi, sumbat bolak-balik dengan karet lalu kocok dengan membolak-balik tegak lurus 180° sebanyak 20 x atau dapat juga dilakukan dengan memasukkan pengocok ke dalam silinder sedimentasi lalu aduk naik turun selama 1 menit.
9.      Masukkan hidrometer kedalam suspensi dengan sangat hati-hati agar suspensi tidak banyak terganggu.
10.  Setelah beberapa detik, membaca dan mencatat (H1) pada hidrometer beserta suhunya (t1), dengan hati-hati hidrometer dikeluarkan dari suspensi.
11.  Setelah menjelang 8 jam, hidrometer dimasukkan kembali untuk pembacaan H2 dan t2.
12.  Menghitung berat debu dan liat dengan menggunakan rumus :
      Berat debu dan liat     :     
      Berat liat                     :     
      Berat debu                  :       berat (debu + liat) -berat liat………(a + b)
13.  Menghitung persentase pasir , debu dan liat dengan persamaan :
      % pasir               :           
% debu               :
% liat                  : 



IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.  Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, maka diperoleh data sebagai berikut :
Tabel I :  Hasil Analisis Ukuran Partikel (Tekstur) tanahpada Lapisan I dan II dan III

Lapisan
Persentase Fraksi (%)
Kelas Tekstur
Pasir
Debu
Liat
Lapisan I
47,12 %
20,46%
32,42%
Lempung liat berpasir
Lapisan II
55,15%
14,43%
30,42%
Liat
Lapisan III
32,83%
45,13%
22,04%
Lempung
Sumber : Data primer setelah diolah, 2011.

5.1. Pembahasan

Berdasarkan tabel hasil pengamatan pada tekstur tanah bahwa pada lapisan I diperoleh % pasir sebesar 47,12%, % debu sebesar 20,46% dan persen liat sebesar 32,42%.  Sedangkan pada lapisan II diperoleh % pasir sebesar 55,15%, % debu sebesar 14,43%, dan % liat sebesar 30,42%.  Hal ini menunjukkan tekstur pada lapisan I bertekstur lempung liat berpasir, lapisan II bertekstur liat sedangkan lapisan III bertekstur lempung.
Lapisan I memiliki persentase fraksi liat lebih besar daripada persentase fraksi debu dan pasir, karena lapisan ini komposisi tanahnya masih berasal dari serasah (sisa-sisa tanaman) dan mengandung banyak bahan organik.  Hal ini sesuai pendapat Hanafiah(2005), yang menyatakan bahwa pada lapisan atas tingkat kesuburan tanah basanya mengacu pada ketersediaan hara.
Lapisan II juga memiliki persentase fraksi liat lebih besar daripada persentase fraksi debu dan pasir, karena liat memiliki permukaan luas dan bermuatan listrik yang memberi kemampuan untuk mengikat unsur hara dan air pada tanaman untuk pertumbuhan tanaman.  Hal ini sesuai pendapat Foth(1988), yang menyatakan bahwa kapasitas berbeda untuk menahan air dan unsur hara melawan tarikan gravitasi yang merupakan ciri utama liat.
Lapisan I yang bertekstur liat bersifat sangat lekat dan membentuk sangat baik.  Tanah yang mengandung liat mempunyai permukaan yang sangat halus, yang mampu menyimpan air, akan tetapi peredaran udara dan aerasi tanah tidak baik yang salah satu penyebabnya adalah kurangnya pori pada tanah itu.  Penambahan bahan organik membantu mengatasi masalah kelebihan air tanah berliat.  Bahan organik membantu mengikat butiran liat membentuk ikatan lebih besar sehingga memperbesar ruang-ruang udara diantaranya ikatan butiran.  Hal ini sesuai dengan pendapat Foth(1988), bahwa selain daya simpan air, hara tertentu dapat digunakan , dismipan  pada permukaan partikel tanah liat.  Oleh karena itu, tanayh liat bertindak sebagai reservoir penyimpanan air dan hara.
          
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.  Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada praktikum tekstur tanah ini, maka dapat kami simpulkan bahwa tanah pada lapisan I memiliki persentase pasir sebesar 47,12 %, debu 20,46 %, dan liat sebesar 32,42 % sehinnga termasuk dalam tekstur lempung liat berpasir. Tanah pada lapisan II memiliki persentase pasir 55,15%, debu 14,43%, dan liat sebesar 32,42%, sehingga termasuk dalam tekstur liat. sedangkan tanah pada lapisan III memiliki presentase pasir 32,82 3%, debu 45,13 %, dan liat 22,04 % sehingga termasuk dalam tekstur lempung.

5.2.  Saran
Untuk memilih lahan pertanian, perlu diperhatikan masalah tekstur tanah, hal ini disebabkan karena tekstur tanah dapat mempengaruhi kandungan bahan organik atau unsur hara yang diperlukan untuk tumbuhan serta kemampuannya menyimpan air dan aerasi.

VI.  DAFTAR PUSTAKA



Buckman, H.O. dan N.C. Brandy, 1982.  Ilmu Tanah.  Brata Karya Aksara, Jakarta.

Foth, H.D., 1984.  Dasar-Dasar Ilmu Tanah..  Edisi VI.  Erlangga, Jakarta.

Hakim, N.M.Y. Nyakpa, A.M.Lubis, S.Ghani, Nugroho, M.R.Soul, M.A.Diha,  G.B.Hong, N.H.Balley., 1986.Dasar-Dasar Ilmu Tanah.Universitas Lampung, Lampung.

Hanafiah, Ali Kemas.  2005.  Dasar-dasar Ilmu Tanah.  Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hadjowigwno, S., 1987.  Ilmu Tanah.  Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.



LAMPIRAN

Lapisan I
Dik : H1 = 15   H2 = 8  t1 = 30°C              t2 = 28oC                 c = 7,6gram
Menghitung berat debu dan liat dengan menggunakan persamaan :
                              H1 + 0,3 (t1 – 19,8)
Berat Debu Liat = -----------------------  – 0,5 ............................. (a)
                                           2
                              15 + 0,3 ( 30 – 19,8)
 = -----------------------  – 0,5  = 8,53 gr  .............(a)
                                           2
                              H2 + 0,3 (t2 – 19,8)
Berat Liat          = -----------------------  – 0,5 ..............................(b)
                                           2
                             8 + 0,3 ( 28 – 19,8)
 = -----------------------  – 0,5 = 4,73 gr   .............(b)
                                           2
Berat Debu = Berat (Debu + Liat) – Berat Liat
                              = (a) – (b)
                              = 8,53 – 4,53
                              = 3,8 gram
Menghitung persentase pasir, debu, dan liat dengan persamaan :
                         c
% Pasir    =  -------- X 100 %                               
                                 a + c
                          7,6
   =  -------------- X 100 % = 47,11 %                               
                                8,53 + 7,6
                      a – b
% Debu   =  -------- X 100 %                               
                                 a + c
                     8,53 – 4,73
                           =  --------------- X 100 % = 23,6 %                               
                                 8,53 + 7,6
                        b
% Liat     =  -------- X 100 %                               
                                 a + c
                           4,73
   =  --------------- X 100 % = 29,32 %
                                 8,53 + 7,6

Lapisan II
Dik : H1 = 8     H2 = 4  t1 = 29°C              t2 = 28,5oC              c = 6,0gram
Menghitung berat debu dan liat dengan menggunakan persamaan :
                              H1 + 0,3 (t1 – 19,8)
Berat Debu Liat = -----------------------  – 0,5 ............................. (a)
                                           2
                              8 + 0,3 (29 – 19,8)
 = -----------------------  – 0,5  = 4,88 gr ..........(a)
                                           2
                              H2 + 0,3 (t2 – 19,8)
Berat Liat          = -----------------------  – 0,5 ..............................(b)
                                           2
4+ 0,3 (28,5 – 19,8)
 = -----------------------  – 0,5 = 2,805 gr    ..............(b)
                                           2
Berat Debu = Berat (Debu + Liat) – Berat Liat
                              = (a) – (b)
                                = 4,88 – 2,805
                                = 2,075 gram




Menghitung persentase pasir, debu, dan liat dengan persamaan :
                         c
% Pasir    =  -------- X 100 %                               
                                 a + c
                         6,0
     =  ------------ X 100 % = 55,14 %                                
                                4,88 + 6,0
                      a – b
% Debu   =  -------- X 100 %                               
                                 a + c
                     4,88 – 2,805
                           =  --------------- X 100 % = 19,07 %                              
                                 4,88 + 6,0
                        b
% Liat     =  -------- X 100 %                               
                                 a + c
                         2,805
     =  -------------- X 100 % = 25,78 %
4,88 + 6,0

LAPISAN III
Dik : H1 = 10   H2 = 1  t1 = 28°C              t2 = 29oC                 c = 2,8gram
Menghitung berat debu dan liat dengan menggunakan persamaan :
                              H1 + 0,3 (t1 – 19,8)
Berat Debu Liat = -----------------------  – 0,5 ............................. (a)
                                           2
                              10 + 0,3 (28 – 19,8)
 = -----------------------  – 0,5  = 5,73 gr ..........(a)
                                           2


                              H2 + 0,3 (t2 – 19,8)
Berat Liat          = -----------------------  – 0,5 ..............................(b)
                                           2
1+ 0,3 (29 – 19,8)
 = -----------------------  – 0,5 = 1,38 gr    ..............(b)
                                           2
Berat Debu = Berat (Debu + Liat) – Berat Liat
                              = (a) – (b)
                              = 5,73 – 1,38
                              = 4,35 gram
·        Menghitung persentase pasir, debu, dan liat dengan persamaan :
                         c
% Pasir    =  -------- X 100 %                               
                                 a + c

                         2,8
   =  ------------ X 100 % = 32,82 %                               
                               5,73 + 2,8
                      a – b
% Debu   =  -------- X 100 %                               
                                 a + c
                     5,73 – 1,38
                           =  --------------- X 100 % = 50,99 %                               
                                 5,73 + 2,8
                       b
% Liat     =  -------- X 100 %                               
                               a + c
                         1,38
     =  -------------- X 100 % = 16,17 %
                                 5,73 + 2,8